PENDAHULUAN

Latar Belakang

Teknologi informasi telah mengambil peran yang besar dalam perkembangan dunia peradilan. Berkembangnya teknologi informasi modern telah berhasil membawa umat manusia saling berinteraksi dan menjadi alat dalam meminimalisir permasalahan kehidupan sehari-hari, termasuk mengenai permasalahan hukum. Merespon kebutuhan akan teknologi di dunia peradilan, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga satu atap yang menaungi 4 (empat) lingkungan peradilan yang bervisi mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung yang salah satunya adalah dengan menerapkan Badan Peradilan Modern dengan berbasis Teknologi Informasi Terpadu, salah satunya telah mencanangkan program e-Court melalui Perma Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. E-Court merupakan salah satu lompatan besar di bidang transformasi teknologi dalam sejarah peradilan di Indonesia.[1] Dengan diluncurkannya aplikasi ini dengan tiga fitur utama, yaitu pendaftaran perkara (e-Filing), pembayaran panjar uang perkara (e-Payment), dan penyampaian pemberitahuan dan pemanggilan persidangan secara elektronik (e-Summons).

Pengaplikasian e-Court yang masih baru, menimbulkan tantangan bagi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum untuk mensosialisasikannya. Dengan mengingat bahwa di tiap lingkungan peradilan memiliki petunjuk teknis masing-masing, di antaranya untuk Peradilan Umum tunduk pada SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018, untuk Peradilan Agama tunduk pada SK Dirjen Badilag Nomor 1294/ DjA/HK.00.6/SK/05/2018, dan untuk Peradilan Militer dan TUN tunduk pada SK Dirjen Badilmiltun Nomor 461/DJMT/Kep/8/2018. Dari keempat lingkungan peradilan dapat diliat peta sebarannya sebagai berikut:

Tabel. Tiga Pengadilan dengan Jumlah Perkara e-Court Terbanyak di Tiap Lingkungan Peradilan di Indonesia

Peradilan UmumPeradilan AgamaPeradilan Tata Usaha Negara
PN Palembang (88 perkara)PA Ciamis (380 perkara)PTUN Makassar (26 perkara)
PN Bandung (78 perkara)PA Kepanjen (234 perkara)PTUN Jakarta (3 perkara)
PN Surabaya (53 perkara)PA Cikarang (180 perkara)PTUN Denpasar (2 perkara)

Sumber: https://ecourt.mahkamahagung.go.id

Diamati dari data di atas di Peradilan Umum sebagai peradilan yang menjalankan fungsi pengadilan pada umumnya bagi masyarakat[2], tingkat penerapan e-Court masih belum merata. Mengacu pada peta sebaran ­e-Court di Peradilan Umum, pengadilan yang paling banyak mendapatkan perkara melalui e-Court adalah Pengadilan Negeri Palembang yaitu sebanyak 88 perkara.[3] Bandingkan dengan perolehan perkara melalui e-Court di Peradilan Agama, yang mana jumlah terbanyak adalah di Pengadilan Agama Ciamis dengan jumlah 380 perkara.[4]

Dirjen Badilum melalui surat nomor 272/DJU/HM02.3/3/2019 tertanggal 8 Maret 2019 menginstruksikan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia untuk mengakselerasi pendaftaran perkara secara e-Court melalui beberapa langkah strategis.[5] Sejalan dengan instruksi tersebut maka diperlukan upaya masif untuk mensosialisasikan program e-Court ini kepada masyarakat. Melalui paper ini, penulis akan menyumbangkan salah satu gagasannya melalui perekayasaan mekanisme pengaplikasian ­e-Court, utamanya dalam hal panggilan dan pemberitahuan elektronik. Argumentasi penulis dilandaskan pada kerancuan penerapan beberapa norma yang ada di SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018, sehingga terdapat ketidaksesuaian antara aturan tersebut dengan pelaksanaan yang terjadi di lapangan.

Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulisan paper ini dilakukan dengan tujuan untuk:

  1. Menguraikan dan mengkaji konstruksi yuridis dan praktis e-Summons (panggilan dan pemberitahuan elektronik); dan
  2. Menguraikan hasil analisa mengenai argumentasi yuridis penerapan Pasal 14 SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018.

Metode Penulisan

Penulisan paper dilakukan dengan penyusunan data-data yang dihimpun dengan metode yuridis normatif, yaitu melalui penelitan terhadap konstruksi hukum dari bahan kepustakaan atau data sekunder sebagai bahan dasarnya. Pendekatan yang dilakukan adalah terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach), terhadap konsep (conceptual approach), dan terhadap kasus (case approach). Bahan hukum primer diambil dari ketentuan perundang-undangan mengenai panggilan dan pemberitahuan elektronik, di antaranya HIR, Perma Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, dan SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018. Bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur yang mendukung berupa buku, artikel dan data internet; serta data kasus dari perkara di Pengadilan Negeri Blora nomor 1/Pdt.G/2019/PN Bla.

PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian pada pendahuluan di atas, maka dirumuskan permasalahan utama yang akan dibahas di dalam paper ini, yaitu:

  1. Bagaimana konstruksi yuridis dan praktis e-Summons (panggilan dan pemberitahuan elektronik)?
  2. Bagaimana argumentasi yuridis penerapan Pasal 14 SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018?

PEMBAHASAN

KONSTRUKSI YURIDIS DAN PRAKTIS e-SUMMONS (PANGGILAN DAN PEMBERITAHUAN ELEKTRONIK

Kajian Mengenai Norma dan Prinsip Panggilan dan Pemberitahuan Elektronik

Panggilan elektronik dalam rangka e-Court dilaksanakan dengan ketentuan dasar Pasal 11 Perma Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, bahwa selain sebagaimana diatur dalam hukum acara, panggilan menghadiri persidangan terhadap para pihak berperkara dapat disampaikan secara elektronik.

Umumnya, dalam suatu panggilan sidang harus mengutamakan terpenuhinya prinsip keabsahan dan kepatutan panggilan. Syarat keabsahan panggilan adalah sebagai berikut:

Apabila tempat tinggal tergugat diketahui

Disampaikan langsung kepada yang bersangkutan (in person) di tempat tinggalnya dengan mengacu pada Pasal 390 ayat (1) HIR atau sesuai Pasal 3 Rv meliputi keluarganya. Apabila tidak ditemui maka disampaikan kepada kepala desa (Pasal 390 ayat (1) HIR, Pasal 3 Rv).

Apabila Tidak Diketahui Tempat Tinggal Tergugat

Maka sesuai Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv adalah melalui panggilan umum.

Apabila tergugat sudah meninggal

Maka sesuai Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv disampaikan kepada ahli warisnya dengan mengacu pada ketentuan keabsahan panggilan pada umumnya (apabila diketahui atau tidak diketahui tempat tinggalnya). Sedangkan syarat kepatutan panggilan adalah bahwa hari pemanggilan dan hari sidang sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari, sesuai Pasal 122 HIR.

Konsep dan prinsip panggilan elektronik meringkas penerapan panggilan tersebut, yang mana melalui Pasal 15 Perma Nomor 3 Tahun 2018 diatur bahwa keabsahan dan kepatutan panggilan elektronik terpenuhi sepanjang panggilan tersebut dikirim ke domisili elektronik dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang. Perbedaan secara mendasar adalah pada prinsip keabsahan, dalam HIR disebutkan mekanisme berlapis untuk dapat terpenuhinya keabsahan panggilan namun di dalam panggilan elektronik keabsahan panggilan ditentukan apabila jurusita telah melakukan panggilan ke domisili elektronik. Adapun yang dimaksud domisili elektronik berdasarkan Pasal 1 angka 3 Perma Nomor 3 Tahun 2018 adalah domisili para pihak berupa alamat surat elektronik dan/atau nomor telepon seluler yang telah terverifikasi.

Selanjutnya berkaitan dengan ruang lingkup panggilan elektronik, berdasarkan ketentuan Pasal 12 Perma Nomor 3 Tahun 2018 panggilan elektronik disampaikan kepada:

  1. Penggugat/ Pemohon yang melakukan pendaftaran secara elektronik serta yang memberikan persetujuan secara tertulis;
  2. Tergugat/ Termohon atau pihak lain yang telah menyatakan persetujuannya secara tertulis untuk dipanggil secara elektronik;
  3. Kuasa hukum yang wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal untuk beracara secara elektronik.

Terhadap para pihak tersebut diatur secara khusus melalui SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018, yang harus terlebih dahulu mendaftarkan akun secara daring. Meskipun demikian, saat ini pendaftaran perkara melalui Aplikasi e-Court pada ecourt.mahkamahagung.go.id hanya masih dikhususkan untuk Advokat melalui akun yang divalidasi oleh Pengadilan Tinggi tempat Advokat disumpah, sedangkan pendaftaran perseorangan atau badan hukum akan diatur lebih lanjut. Panggilan elektronik akan dilakukan kepada Advokat yang bertindak untuk dan atas nama Penggugat atau Tergugat yang bersangkutan:

Kepada Kuasa Hukum Penggugat:

Panggilan elektronik akan dilakukan sejak panggilan sidang pertama dengan Penggugat telah menyepakati mekanisme beracara secara elektronik. Kemudian pada hari sidang pertama Kuasa Hukum Penggugat harus menyerahkan seluruh surat asli berupa surat kuasa, surat gugatan, dan surat persetujuan prinsipal untuk beracara secara elektronik (yang mana sebelumnya telah didaftarkan dalam bentuk softfile hasil pemindaian);

Kepada Kuasa Hukum Tergugat:

Panggilan sidang pertama kepada Prinsipal Tergugat dilaksanakan secara manual, dan selanjutnya panggilan akan dilakukan secara elektronik kepada Kuasa Hukum Tergugat setelah ditawarkan oleh Majelis Hakim pada sidang pertama untuk beracara elektronik, dengan syarat:

  1. Tergugat hadir pada sidang pertama;
  2. Tergugat mengisi formulir persetujuan beracara secara elektronik dan menggunakan domisili elektronik (Kuasa Hukumnya);
  3. Tergugat atau Kuasa Hukumnya menyerahkan surat persetujuan prinsipal untuk beracara secara elektronik.

Kajian Terhadap Pelaksanaan Panggilan dan Pemberitahuan Elektronik: Pendekatan Kasus pada Perkara Perdata Nomor 1/Pdt.G/2019/PN Bla

Penulis mendeskripsikan praktik panggilan dan pemberitahuan elektronik sebagai hasil dari eksaminasi terhadap proses panggilan dan pemberitahuan pada perkara perdata nomor 1/Pdt.G/2019/PN Bla antara Kasmianto selaku Penggugat, yang memberikan kuasa kepada Zainudin, S.H, M.H, dkk, melawan Wakiran (Tergugat 1) yang memberikan kuasa kepada Sugiyarto, S.H., M.H, dkk, Suwarni (Tergugat 2) yang memberikan kuasa kepada Sugiyarto, S.H., M.H, dkk, Sariman (Tergugat 3), dan Nyono (Tergugat 4). Adapun pada perkara tersebut, Penggugat mendaftarkan perkara melalui e-Court, sehingga mekanisme panggilannya sebagaimana disebutkan pada Perma 3 Tahun 2018 disampaikan secara elektronik kepada domisili elektronik para pihak melalui sistem informasi pengadilan.

Suparmin, selaku Jurusita pada Pengadilan Negeri Blora yang ditunjuk sebagaimana Penunjukan Panitera Nomor 1/ Pdt.G/ 2019/ PN Bla telah melakukan panggilan sidang pertama tanggal 9 Januari 2019:

  1. Secara elektronik kepada Zainudin, SH, MH, selaku Kuasa Hukum Penggugat pada hari Jumat tanggal 4 Januari 2019;
  2. Secara manual kepada Wakiran (Tergugat 1), Suwarni (Tergugat 2), Sariman (Tergugat 3), dan Nyono (Tergugat 4), pada hari Kamis tanggal 3 Januari 2019.

Pada hari sidang pertama, Majelis Hakim telah melakukan penawaran kepada para Tergugat untuk beracara secara elektronik, dan atas kesempatan tersebut para Tergugat menyatakan tidak setuju untuk beracara secara elektronik. Majelis Hakim oleh karena hal tersebut menyatakan bahwa mekanisme persidangan akan dilanjutkan secara manual. Selanjutnya Majelis Hakim memerintahkan Penggugat untuk menambah panjar biaya perkara, yaitu:

  1. Sebelumnya besaran panjar biaya perkara untuk komponen panggilan hanya diperuntukkan untuk tiga kali panggilan untuk tiap-tiap Tergugat, sedangkan untuk panggilan Penggugat adalah nihil;
  2. Setelah pernyataan bahwa para Tergugat tidak bersedia beracara secara elektronik pada sidang pertama, pada tanggal 9 Januari 2019 Penggugat menambah panjar biaya perkara untuk panggilan dengan rincian 2 x Penggugat dan 2 x tiap-tiap Tergugat; dan untuk biaya pemberitahuan putusan dengan rincian 1 x Penggugat dan 1 x tiap-tiap Tergugat.

ARGUMENTASI YURIDIS PENERAPAN PASAL 14 SK DIRJEN BADILUM NOMOR 271/DJU/SK/PS01/4/2018: SUATU PENAFSIRAN SISTEMATIS

Penulis mengkritisi pelaksanaan e-Summons yang dinyatakan gugur ketika Tergugat pada sidang pertama tidak menyetujui beracara secara elektronik. Penulis berdiri dalam suatu argumentasi bahwa seharusnya e-Court, khususnya e-Summons, tetap dapat dilaksanakan terhadap Penggugat meskipun Tergugat tidak sepakat beracara secara elektronik. Penulis menggunakan metode penafsiran sistematis terhadap ketentuan dalam SK Dirjen Badilum Nomor 271/ DJU/ SK/ PS01/ 4/ 2018 mengenai aturan teknis e-Summons. Metode penafsiran sistematis (dogmatis) adalah penafsiran dengan menilik susunan yang saling berhubungan antara bunyi satu pasal dengan pasal lainnya baik dalam satu undang-undang maupun dengan undang-undang yang lain.[6] Metode ini digunakan untuk mengetahui perhubungan antar norma serta untuk menemukan dan memperjelas arti dan makna (to discover and to expound the meaning).[7]

Aturan Mengenai Panggilan Kepada Tergugat Merupakan Ketentuan Pengecualian dalam Penerapan e-Summons

Istilah e-Summons tidak dimunculkan baik di dalam Perma 3 Tahun 2018 maupun dalam SK Dirjen Badilum 271/DJU/SK/PS01/4/2018. Ketentuan ini muncul pada Aplikasi e-Court yang ada di dalam ecourt.mahkamahagung.go.id. E-Summons merupakan penerapan Pasal 14 SK Dirjen Badilum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 yaitu: (1) Aplikasi e-Court menghasilkan panggilan menghadiri persidangan terhadap para pihak berperkara secara elektronik setelah mendapatkan data persidangan dari SIPP; (2) Aplikasi ­e-Court menghasilkan pemberitahuan putusan secara elektronik kepada pihak yang tidak hadir pada saat pengucapan putusan. Pasal 15 ayat (1) disebutkan ruang lingkup dari panggilan elektronik adalah pada pokoknya kepada: (a) Penggugat/Kuasa; (b) Tergugat/Kuasa; (c) Kuasa Hukum yang mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal. Selain itu di dalam Pasal 15 ayat (6) disebutkan bahwa biaya panggilan elektronik adalah nihil. Dengan demikian ketentuan umum mengenai panggilan elektronik ini adalah ditujukan kepada para pihak secara prinsipal dan/atau kuasa hukum yang telah mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal, yang mana terhadap panggilan tersebut biayanya adalah nihil.

Dari ketentuan umum tersebut terdapat pengecualian, yaitu panggilan terhadap Tergugat yang terdapat dalam beberapa ketentuan berikut:

Ketentuan panggilan pertama

Hal ini diatur di dalam Pasal 15 ayat (2) yang pada pokoknya menyatakan bahwa panggilan pertama untuk Tergugat/Kuasa dilaksanakan secara manual. Maksud pembuat aturan dalam hal ini sangat dapat dan wajar diterima, mengingat secara yuridis Tergugat akan dapat mengakses dan mengetahui adanya perkara yang berhubungan dengan dirinya adalah sejak dilakukan panggilan pertama untuk menghadiri sidang pertama. Selanjutnya Hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (4) akan menawarkan kepada Tergugat untuk beracara secara elektronik.

Persyaratan sehingga Tergugat dapat dipanggil elektronik

Panggilan elektronik hanya dapat dilakukan kepada Kuasanya apabila memenuhi persyaratan yang diatur di dalam ketentuan Pasal 15 yang pada pokoknya: (a) hadir pada sidang pertama; (b) mengisi formulir persetujuan beracara elektronik dan menggunakan domisili elektronik; (c) mendapatkan aktivasi domisili elektronik; dan (d) menyerahkan surat persetujuan prinsipal. Praktiknya, pada sidang pertama hakim menanyakan kesediaan Tergugat untuk beracara secara elektronik. Kesediaan itu harus dibarengi dengan keharusan didampingi oleh Kuasa Hukum (hal ini mengingat pengguna domisili elektronik hanya bagi advokat saja). Selain itu apabila Tergugat terdiri dari beberapa orang, maka semua Tergugat harus juga sepakat.

Dengan adanya ketentuan pengecualian tersebut, maka apabila tidak terpenuhi beberapa ketentuan pengecualian di atas, maka harus ditafsirkan bahwa hanya terhadap Tergugatlah panggilan elektronik tidak dapat diberlakukan. Hal ini mengingat pula ketentuan Pasal 15 ayat (1) yang mana Penggugat/Kuasa; Tergugat/Kuasa; Kuasa Hukum bukan merupakan satu kesatuan pihak, melainkan pihak yang berdiri sendiri-sendiri. Sehingga dengan tidak dapat diterapkannya panggilan elektronik kepada Tergugat, bukan berarti harus menghapuskan mekanisme panggilan elektronik kepada Kuasa Hukum Penggugat.

Dalam rangka mempertegas hal tersebut, maka Penulis berpendapat perlu untuk menambahkan satu norma di dalam Pasal 15 ayat (5) SK Dirjen Badilum Nomor 271/ DJU/ SK/ PS01/ 4/ 2018, sehingga terdapat poin ‘e’ yang berbunyi ‘Tidak dipenuhinya ketentuan yang disebutkan pada huruf (a), (b), (c), dan (d) tidak membatalkan proses panggilan elektronik kepada Penggugat’. Demikian halnya dengan penerapan pemberitahuan elektronik kepada Penggugat juga tidak akan terhapus dan tetap akan berlaku ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 dan Pasal 19.

Gugurnya e-Court Apabila Tergugat Tidak Sepakat adalah Sebatas pada Proses Jawab-Jinawab dan Kesimpulan Secara Elektronik

Selain ruang lingkup e-Court yang disebutkan adalah mengenai e-Filing, e-Payment, dan e-Summons, SK Dirjen Badilum Nomor 271/ DJU/ SK/ PS01/ 4/ 2018 juga mengatur tatacara jawaban, replik, duplik, dan/atau kesimpulan secara elektronik. Tujuan umum lahirnya aturan (ratio legis) ini adalah dengan melihat praktik di pengadilan pada saat proses jawab-jinawab yang memakan waktu yang lama. Tidak jarang para pihak harus menunggu antrean sidang di pengadilan, sementara acara persidangan hanya membacakan dokumen jawab-jinawab atau kesimpulan. Dengan demikian untuk menerapkan asas peradilan cepat, mudah, dan murah maka digagas salah satu ruang lingkup e-Court adalah adanya proses jawab-jinawab dan kesimpulan elektronik melalui mekanisme domisili elektronik.

Pada intinya ketika Tergugat menyatakan tidak sepakat beracara secara elektronik, maka pernyataan tersebut adalah terhadap ketidaksepakatannya menggunakan mekanisme domisili elektronik baginya. Sehingga segala hal yang berkaitan dengan domisili elektronik yang mengikat kepada Tergugat tidak dapat dilaksanakan, di antaranya adalah panggilan elektronik baginya dan proses jawab-jinawab dan kesimpulan bagi kedua belah pihak. Terkhusus mengenai proses jawab-jinawab dan kesimpulan yang mengikat kedua belah pihak, hal ini telah diatur dalam Pasal 21 yang menyebutkan syarat proses jawab-jinawab dan kesimpulan bahwa pada pokoknya para pihak harus setuju dengan domisili elektronik; melakukan log in dengan akun pengguna; mengunggah dokumen pada sidang yang telah ditetapkan; menerima dokumen dari Aplikasi e-Court; dan mendapatkan notifikasi mengenai hal itu.

Selain itu secara tegas Pasal 22 ditegaskan bahwa dalam hal Tergugat tidak setuju beracara secara elektronik maka tahap menjawab dan/atau kesimpulan tidak bisa dilakukan secara elektronik. Artinya, dalam hal Tergugat tidak setuju, maka akan menggugurkan proses jawab-jinawab antara para pihak secara elektronik. Hal ini dapat dibandingkan dengan ketentuan e-Summons dalam Pasal 15 yang mana dengan tidak setujunya Tergugat maka hanya panggilan baginya yang akan dilakukan secara manual. Sehingga panggilan dan pemberitahuan elektronik kepada Penggugat tetap akan berlaku meskipun Tergugat tidak sepakat beracara secara elektronik.

E-SUMMONS KEPADA PENGGUGAT APABILA TERGUGAT TIDAK SETUJU BERACARA SECARA ELEKTRONIK DALAM RANGKA AKSELERASI SOSIALISASI e-COURT

E-Court merupakan salah satu lompatan besar di bidang transformasi teknologi dalam sejarah peradilan di Indonesia.[8] Dengan diluncurkannya aplikasi ini dengan tiga fitur utama, yaitu pendaftaran perkara (e-Filing), pembayaran panjar uang perkara (e-Payment), dan penyampaian pemberitahuan dan pemanggilan persidangan secara elektronik (e-Summons), diharapkan mampu menjadi penggerak dalam mencapai era peradilan yang modern. Dalam rangka mempercepat progresifitas program tersebut serta untuk mendukung agenda sosialisasi e-Court sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan secara meluas di lingkungan masyarakat, maka perlu upaya dan terobosan yang konstruktif untuk memasyarakatkan e-Court.

Tercatat, penggunaan mekanisme acara persidangan secara elektronik di beberapa negara telah mengalihkan pendaftaran perkara oleh masyarakat ke pengadilan yang semula melalui pendaftaran kertas (paper filing) menjadi pendaftaran elektronik (e-Filing)[9]. Penggunaan e-Court lebih mampu diterima di era modern, dengan mengingat beberapa kemanfaatannya dalam beberapa hal[10], di antaranya:

  1. Mempermudah jarak ruang dan menghemat biaya;
  2. Keamanan lebih terjaga dengan mekanisme penyimpanan data secara elektronik;
  3. Transparansi pelayanan lebih terpenuhi dengan fasilitas penyediaan data secara elektronik;
  4. Mempermudah akses pada keadilan (access to justice).

Demikian halnya pada mekanisme e-Court di Indonesia, Penulis berargumen bahwa dengan tetap menerapkan e-Summons kepada Penggugat meskipun pada hari sidang pertama setelah ditawarkannya mekanisme e-Court kepada Tergugat ternyata Tergugat tidak setuju beracara secara elektronik, maka dapat menjadi salah satu upaya untuk merekayasa (tool of engineering) agar e-Court dapat secara langsung dan tetap dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, utamanya oleh Penggugat yang sejak awal telah mendaftarkan perkara secara elektronik. Setidaknya keuntungan yang dapat dirasakan secara langsung dengan tetap menerapkan e-Court kepada Penggugat meskipun Tergugat tidak setuju beracara secara elektronik adalah berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan panggilan dan pemberitahuan kepada Penggugat.

Memang melihat praktik panggilan kepada Penggugat selain pada sidang pertama akan hanya dilakukan apabila dalam proses mediasi dilakukan tidak sampai dengan batas 30 (tiga) puluh hari kerja, dan para pihak harus dipanggil untuk sidang lanjutan. Selain itu dalam hal pemberitahuan yang mana akan berlaku apabila pihak tidak hadir ketika pembacaan putusan, sebagaimana diatur pada Pasal 179 ayat (2) HIR, dan biasanya Penggugat akan selalu hadir dalam putusan karena Penggugat adalah pihak yang paling berkepentingan dalam perkara. Namun dengan mengingat tujuan awal adalah sebagai salah satu upaya akselerasi sebagaimana telah diinstruksikan oleh Dirjen Badilum melalui Surat Nomor 272/DJU/HM02.3/3/2019 tertanggal 8 Maret 2019, maka argumentasi mengenai pelaksanaan e-Summons ini dapat diterapkan untuk memaksimalkan penggunaan e-Court dan setidaknya Penggugat dapat merasakan manfaat dari e-Court ini.

PENUTUPAN

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hasil pembahasan dalam paper ini adalah sebagai berikut.

  1. Konstruksi yuridis e-Summons dapat dilihat melalui ketentuan yang mengaturnya dan secara praktis dapat dikaji dari pelaksanaannya pada perkara nomor 1/Pdt.G/2019/PN Bla yang mana proses e-Court akan gugur secara keseluruhan apabila Tergugat pada sidang pertama tidak memberikan persetujuannya untuk beracara secara elektronik;
  2. Argumentasi yuridis penerapan Pasal 14 SK Dirjen Badilum Nomor 271/ DJU/ SK/ PS01/ 4/ 2018 dilakukan melalui penafsiran sistematis pada ketentuan normanya, bahwa panggilan elektronik kepada Tergugat adalah bersifat pengecualian dan gugurnya proses e-Court apabila Tergugat tidak sepakat adalah mengenai proses jawab-jinawab dan kesimpulan semata, bukan berlaku terhadap panggilannya dan seluruh ruang lingkup e-Court yang lainnya, yang dengan demikian itu dapat mempercepat agenda akselerasi sosialisasi e-Court di Peradilan Umum.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, melalui paper ini penulis menyarankan bahwa seyogyanya e-Court utamanya terhadap panggilan dan pemberitahuan elektronik kepada Kuasa Hukum Penggugat tetap harus dilaksanakan meskipun Tergugat tidak sepakat beracara secara elektronik. Selain itu perlu ditambahkan satu norma di dalam Pasal 15 ayat (5) SK Dirjen Badilum Nomor 271/ DJU/ SK/ PS01/ 4/ 2018 untuk mempertegas argumentasi ini, sehingga terdapat poin ‘e’ yang berbunyi ‘Tidak dipenuhinya ketentuan yang disebutkan pada huruf (a), (b), (c), dan (d) tidak membatalkan proses panggilan elektronik kepada Penggugat’.


[1] Mahkamah Agung RI, Era Baru Peradilan Modern Berbasis Teknologi Informasi, Amanat Ketua Mahkamah Agung RI pada Hari Jadi Mahkamah Agung RI Ke-73 Jakarta 19 Agustus 2018, hlm. 3-4

[2] Lilik Mulyadi, 2015, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 67

[3] Peta Sebaran e-Court di Peradilan Umum, diakses dari https://ecourt.mahkamahagung.go.id/mapecourt_umum pada tanggal 11 Maret 2019

[4] Peta Sebaran e-Court di Peradilan Agama, diakses dari https://ecourt.mahkamahagung.go.id/mapecourt_agama pada tanggal 11 Maret 2019

[5] Surat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor 272/DJU/HM02.3/3/2019 Tentang Akselerasi Pendaftaran Perkara Melalui e-Court, 8 Maret 2019

[6] R. Soeroso, 2007, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 99

[7] M. Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 963

[8] Mahkamah Agung RI, loc cit

[9] Supreme Court of the Republic of Korea, 2014, Improveing Court Efficiency: the Republic of Korea’s e-Court Experience, Doing Business, hlm. 67

[10] Ibid, hlm. 68-69

No responses yet

Leave a Comment

Latest Comments

No comments to show.