Perkara meninggalnya seorang perempuan bernama Mirna pada 6 Januari 2016 sekitar pukul 18.30 WIB di sebuah cafe di Grand Indonesia, atau yang lebih dikenal kasus kopi sianida, beberapa waktu terakhir terdengar hangat lagi diperbincangkan oleh khalayak media sosial. Perhatian masyarakat seolah digugah kembali setelah Netflix menempatkan film dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso, dalam katalognya.
Publik waktu itu hampir setiap minggu disibukkan dengan kegiatan menganalisa proses pembuktian yang ditayangkan live pada televisi. Tayangan yang tidak biasa dikonsumsi, mereka menonton ahli-ahli yang saling berketerangan baik yang dihadirkan Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum Jessica pada waktu itu.
Tanpa bermaksud menyelami kembali detail fakta perkara dan persidangan pada tujuh tahun yang lalu tersebut (karena bagi Penulis inkrahnya putusan pemidanaan telah menjadi suatu instrumen hukum tetap yang memuat kebenaran yang sebenarbenarnya) namun akan menjadi suatu diskursus yang menarik apabila membedah secara yuridis pembuktian melalui instrumen para ahli tersebut.
Hukum acara pidana Indonesia mengenal keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti. Lalu ahli yang bagaimana yang dapat diakui memiliki kekuatan untuk membuktikan. Apabila memperhatikan lafal sumpah yang harus diucapkan ahli sebelum memberikan keterangannya di persidangan, yaitu bahwa “ahli akan memberikan pendapat tentang soal-soal, yang dikemukakan menurut pengetahuan dan keahlian saya dengan sebaik-baiknya”, maka seharusnya apa yang diterangkan olehnya tentu berbeda dengan apa yang harus diterangkan oleh saksi.
Perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa saksi akan menerangkan apa yang ia lihat, dengar, dan alami. Sementara ahli akan berpendapat atas perihal yang ditanyakan kepadanya. Tentunya pula dasar yang ia gunakan adalah keilmuan atau pendapat yang telah diakui secara scientific (keilmiahan). Atas dasar itulah di beberapa literatur menyebut hasil pendapat ahli ini yang kemudian dijadikan sebagai bukti dalam penyelesaian suatu perkara disebut sebagai scientific evidence.
Kedudukan Scientific Evidence
Praktiknya, ahli sering kali dihadirkan oleh Penuntut Umum dengan tujuan memberikan keyakinan bagi hakim atas penilaiannya terhadap suatu keadaan atau peristiwa tertentu. Tidak jarang ahli juga dihadirkan untuk kepentingannya menerangkan suatu rangkaian proses penyidikan ilmiah (scientific crime investigation) yang dilakukan atas koordinasi atau permintaan penyidik.
Di saat teknologi telah berkembang seiring tumbuhnya zaman, maka di saat itu pula kejahatan juga terjadi lebih beragam dengan kompleksitas tinggi. Banyak tindak pidana dilakukan dengan modus operandi yang tidak lazim. Bahkan banyak pula tindak pidana dengan minim adanya saksi yang secara langsung melihat, mendengar, dan mengalaminya, melainkan hanya menunjukkan adanya barang bukti.
Sementara barang bukti atau physical evidence (bukti fisik) atau real evidence (bukti nyata) yang dihasilkan dari hasil olah tempat kejadian perkara, tidak bernilai dalam membentuk kekuatan pembuktian, karena bukti seperti ini hanya digunakan sebagai bukti demonstratif (tinjau Pasal 181 ayat (1) KUHAP). Sehingga agar barang bukti yang awalnya hanya berfungsi untuk diperlihatkan kepada terdakwa dan/atau saksi, maka memerlukan instrumen khusus agar barang bukti ini dapat berpeluang dan bernilai untuk membuktikan.
Andi Hamzah dalam bukunya berpendapat bahwa barang bukti baru akan memiliki kekuatan pembuktian apabila identifikasinya memiliki korelasi dengan keterangan saksi, terdakwa, dan/atau ahli. Identifikasi barang bukti oleh ahli inilah yang kemudian dikembangkan sebagai scientific evidence. Adapun sehingga keterangan ahli dijadikan sebagai instrumen khusus yang dimaksud, dengan tujuan barang bukti dapat berkekuatan lebih untuk memperoleh keyakinan hakim.
Awalnya ilmu yang menguraikan barang bukti atau physical evidence atau real evidence dikenal dengan ilmu forensik dan kriminalistik. Kemudian dengan mengikuti dinamika sosial dan perkembangan pola kejahatan yang ada, ilmu kriminalistik ini berkembang menjadi multidisipliner, seperti kedokteran kehakiman, toksikologi, kimia forensik, identifikasi forensik, dokumen yang meragukan, dan senjata api.
Adapun dalam hukum positif kita sendiri telah mengatur dan menyebut beberapa jenis kompetensi ahli yang terbuka peluangnya dapat menghasilkan scientific evidence, di antaranya dan tidak terbatas pada:
- Pasal 132 ayat (1), Pasal 133, Pasal 179 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: Ahli yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi surat atau tulisan palsu; Ahli kedokteran kehakiman, atau dokter, atau ahli lainnya untuk untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
- Pasal 56 ayat (2) huruf b dan h Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, yaitu Orang atau badan hukum dan ahli sehubungan dengan tindak pidana di bidang psikotropika.
- Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Ahli dari bank untuk menerangkan keadaan keuangan tersangka; Ahli yang dapat melakukan perhitungan terhadap kerugian Negara atau seorang ahli akuntan publik.
- Pasal 26 huruf g dan Pasal 27 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu: Ahli analisis transaksi keuangan; Ahli audit mengenai kepatuhan kewajiban penyedia jasa keuangan dan mengenai transaksi keuangan.
- Pasal 12 huruf c dan Pasal 14 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: Ahli yang dapat diminta keterangan mengenai keadaan keuangan tersangka pada bank atau lembaga keuangan lainnya; Ahli yang dapat melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di lembaga Negara dan pemerintahan.
- Pasal 43 huruf h Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang telekomunikasi, media, dan informatika (telematika)
- Pasal 75 dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yaitu: Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya; serta mengambil sidik jari; Ahli dalam melakukan analisis transaksi keuangan.
- Pasal 30 huruf d, Pasal 36 huruf b, Pasal 39 huruf e, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yaitu: Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan; Ahli dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan; Ahli penguji dan pengukur kayu; Ahli yang terkait dengan kuantitas barang bukti yang berada dalam kapal atau alat angkut air lainnya; Ahli yang dapat melakukan pengujian, penghitungan, atau penetapan nilai barang bukti, seperti juru ukur kayu (scaler), penentu kualitas kayu (grader), juru taksir, dan akuntan.
Sederhananya, para ilmuan yang memiliki keahlian di bidang tertentu pada tahap penyidikan dapat bekerja sama dengan penyidik dalam mengidentifikasi barang bukti melalui metode ilmiah untuk mengembangkan informasi yang lebih faktual berkaitan dengan peristiwa tindak pidana yang telah terjadi. Kemudian pendapatnya yang terkait keahlian khusus tersebut diterangkannya di persidangan dengan di bawah sumpah sebagai alat bukti.
Yahya Harahap memberikan makna keahlian khusus yang terkandung di dalam sebuah keterangan ahli tersebut memiliki tujuan utama sebagai penjelasan untuk menjadikan terang suatu perkara. Ada sebuah tujuan yang hendak dicapai berkaitan dengan jenis kompetensi yang dimiliki oleh ahli, yaitu menambahkan pengetahuan kepada hakim atas keadaan non yuridis tertentu sesuai kualifikasi tindak pidananya.
Dari sini maka diperlukan pemahaman yang komprehensif berkaitan dengan hubungan antara jenis kompetensi ahli dengan keyakinan hakim. Bahwa hakim pada dasarnya bertindak sebagai pejabat yang akan menyelesaikan perkara, dan perlu disadari dirinya sebagai manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan yang mencakup keseluruhan jenis bidang keilmuan. Oleh karenanya dalam rangka menunjang pengetahuan itulah hakim dapat menjadikan keterangan ahli sebagai pertimbangan yuridis khusus dengan tujuan untuk membentuk keyakinan atas suatu peristiwa tertentu serta dijadikan sebagai dasar dalam memutus perkara.
Namun yang perlu digarisbawahi bahwa sifat keterangan yang diberikan oleh ahli tidaklah berupa simpulan-simpulan khusus melainkan lebih bersifat menjelaskan peristiwa yang sifatnya umum dan obyektif. Apa yang diterangkan oleh ahli tidak diperkenankan mengenai penilaian kongkret yang sedang disidangkan, tetapi lebih kepada gambaran umum peristiwa dan hasil analisa pada umumnya.
Contohnya, dihadirkan seorang ahli ukur kayu dalam perkara tindak pidana kehutanan tidak boleh menerangkan bahwa “Kayu yang ditemukan sedang diangkut oleh Terdakwa benar merupakan kayu dari wilayah hutan A. Seharusnya ahli tersebut menerangkan bahwa “setelah melakukan pemeriksaan kayu yang ditemukan sedang diangkut oleh Terdakwa memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Adapun ciri-ciri tersebut mirip dengan ciri-ciri kayu pohon yang tumbuh di hutan A”.
Adapun sehingga untuk menggali keterangan ahli pertanyaan yang lebih tepat adalah yang mengarah pada hipotesis berdasarkan keahlian, pengalaman dan/atau hasil penelitiannya. Ada atau tidaknya tindak pidana serta salah atau tidaknya terdakwa hanya hakim yang boleh menilai.
Kekuatan Pembuktian Scientific Evidence
Salah satu hal fundamental terkait pembuktian adalah kekuatan pembuktian suatu alat bukti. Kekuatan pembuktian inilah yang memiliki fungsi integral dengan keyakinan hakim dalam menilai setiap alat bukti yang diajukan di persidangan. Selain itu juga kesesuaian antar alat bukti akan diuji untuk menghasilkan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memberikan vonis. Ian Dennis yang pendapatnya dikutip oleh Eddy OS Hiariej menyatakan bahwa kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti dapat dinilai dari proses akhir persidangan, di mana pengadilan akan mengevaluasi relevansi dan dapat diterimanya bukti-bukti yang telah didapat, sehingga bukti-bukti tersebut layak untuk membuktikan fakta.
Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui kekuatan pembuktian dari suatu scientific evidence. Berikut disebutkan beberapa hal tersebut didasarkan pada pengalaman Penulis sebagai hakim serta beberapa literatur yang terkait, di antaranya:
Ditinjau dari jenisnya
Sepengamatan Penulis terdapat dua jenis scientific evidence yang dihadirkan dalam bentuk keterangan ahli. Pertama, yaitu keterangan ahli yang disampaikan di persidangan dengan tanpa melakukan suatu rangkaian penyidikan ilmiah (scientific crime investigation). Contohnya, keterangan ahli hukum yang menyampaikan informasi-informasi hukum yang dalam jangkauan keahliannya serta karena pengalaman-pengalamannya sebagai ahli hukum, yang kemudian disampaikan dalam persidangan untuk membantu hakim menganalisa kasus dari perspektif hukum.
Kedua, yaitu keterangan ahli yang berdasarkan pada hasil rangkaian penyidikan ilmiah (scientific crime investigation) berupa penelitian, observasi, serta pemeriksaan atas obyek yang dipersengketakan di persidangan. Sebagai contohnya adalah keterangan ahli terkait hasil pemeriksaan mayat yang diduga sebagai korban pembunuhan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk hasil visum et repertum.
Kedua jenis keterangan ahli tersebut sangat nampak perbedaannya. Pada jenis yang pertama yang dibutuhkan hakim dari keterangan ahli tersebut adalah keahlian dan pengalamannya yang hanya sebatas informasi mengenai keadaan tertentu. Berbeda halnya dengan jenis yang kedua, bahwa keterangan yang diberikan ahli adalah berkaitan dengan hasil observasi dan penelitiannya terkait suatu keadaan yang dimintakan pemeriksaan kepadanya. Dengan demikian yang dibutuhkan dari ahli jenis kedua ini adalah suatu gambaran untuk memberikan terangnya peristiwa hukum yang telah terjadi yang mengakibatkan atau memunculkan tindak pidana tertentu.
Ditinjau dari metode dan hasil penilaian atas scientific evidence
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan pembuktian suatu scientific evidence, yaitu: (1) kompetensi ahli yang menerangkan; (2) waktu pelaksanaan pemeriksaan ilmiah; (3) standar operasional pemeriksaan ilmiah.
Adami Chazawi berpendapat ahli yang dimintakan untuk menerangkan suatu scientific evidence bukan hanya dikategorikan sebagai seseorang yang memiliki gelar pendidikan tertentu, namun harus dapat pula dikatakan sebagai seseorang yang telah memiliki pengalaman atau pekerjaan di bidang tertentu dalam waktu yang panjang, serta dapat diterima akal bahwa dia merupakan ahli dalam bidang khusus tersebut. Contoh sederhananya yaitu apabila persidangan dihadapkan dua orang ahli kedokteran yang sama-sama membuat visum et repertum atas luka dari seorang korban tindak pidana penganiayaan, namun satu ahli merupakan dokter jaga/piket UGD, sedangkan satu ahli lainnya merupakan dokter spesialis forensik. Dua orang ahli yang sama-sama dokter namun memiliki kompetensi dan pengalaman yang berbeda tentu berpengaruh terhadap kekuatan dari masing-masing untuk membuktikannya.
Selanjutnya, terkait perbedaan waktu pemeriksaan serta standar prosedur operasional ahli dalam memeriksa, melakukan interpretasi, dan membuat laporan hasil pemeriksaan atas bukti ilmiah. Ditinjau dari waktu pelaksanaan pemeriksaan ilmiah yang mana apabila dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda maka dapat berimplikasi pada hasil pemeriksaan ilmiah yang berbeda-beda pula. Kemudian mengacu pada standar prosedur operasional dan pengalaman ahli, perlu dipahami bahwa prinsip utama untuk dapat diterimanya sebuah mekanisme pembuktian berbasis ilmiah, salah satu aturan mainnya adalah teknik pemeriksaan ilmiah telah dapat diterima keakuratannya oleh kalangan ilmuan secara meluas.
Ditinjau dari penerimaannya dan relevansinya dengan alat bukti lainnya
Di awal telah dibahas mengenai sumber scientific evidence yang mana berasal dari keadaan atau peristiwa tertentu yang kemudian dinilai oleh ahli dalam keterangannya. Keadaan atau peristiwa tertentu itu harus melalui serangkaian proses yang pro justicia/dilakukan demi hukum serta memiliki relevansi dengan perkara yang sedang ditangani.
Relevansi ini harus dapat menunjukkan bahwa scientific evidence yang dihadirkan di persidangan berkaitan dengan fakta-fakta dan peristiwa yang hendak dibuktikan. Penilaian terhadap relevansi bukti ini sangat penting, karena apabila pembuktian dilakukan dengan alat bukti yang tidak relevan dapat menimbulkan risiko proses peradilan yang:
- Membuang-buang waktu, karena akan menghambat proses disebabkan oleh sulitnya menemukan kebenaran dari bukti yang tidak relevan;
- Dapat menjadi misleading dan menimbulkan praduga-praduga yang tidak berguna bagi pembuktian;
- Tidak proporsial, artinya penilaian terhadap masalah berkemungkinan besar tidak sesuai dengan fakta, sesuatu yang besar akan dianggap kecil, begitu juga sebaliknya;
- Tidak rasional, karena bukti yang dihadirkan menyimpang dari fakta persidangan.
Oleh karena itu untuk mempermudah mengetahui adanya relevansi suatu scientific evidence dapat diketahui dari pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- Apa yang akan dibuktikan oleh bukti tersebut?
- Apakah yang akan dibuktikan itu merupakan hal yang material atau substansial bagi perkara?
- Apakah bukti tersebut memiliki hubungan yang logis dengan perkara?
- Apakah bukti tersebut cukup menolong menjelaskan persoalan-persoalan?
Dapat atau tidak dapat diterimanya scientific evidence erat hubungannya dengan relevansi bukti tersebut. Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa biasanya bukti yang dapat diterima akan selalu relevan, namun tidak sebaliknya, bukti yang relevan tidak selalu dapat diterima (admissible). Sehingga diterimanya alat bukti (the admissibility of the evidence) diawali dengan adanya relevansi bukti. Yang dimaksud diterima adalah dapat diterima oleh pengadilan sebagai materi yang sesuai dengan unsur-unsur dari tindak pidana yang hendak dibuktikan.
Untuk dapat memberikan penjelasan terhadapnya maka dapat dibedakan antara scientific evidence yang relevan dan scientific evidence yang dapat diterima. Relevansi diukur dari apakah scientific evidence tersebut relevan dengan fakta yang akan dibuktikan. Sementara dapat diterimanya scientific evidence diukur dari materialitasnya yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan “apakah fakta yang akan dibuktikan melalui scientific evidence tersebut cukup signifikan atau cukup penting bagi pengungkapan perkara pidana secara keseluruhan”.
Hasil analisa yang menyatakan bahwa scientific evidence itu dapat diterima sebagai alat bukti adalah setelah dinyatakan relevan dengan perkaranya, artinya hasil penilaian scientific evidence dapat bermanfaat untuk menjelaskan secara ilmiah perkara pidana tertentu. Di sini peran hakim dalam menilai scientific evidence sangat diperlukan, artinya hakim tidak dapat serta merta menerima scientific evidence secara mentah.
Idealnya, Munir Fuady berpendapat adanya suatu standarisasi bagi hakim dalam menerima suatu bukti menjadi alat bukti akan sangat bermanfaat bagi hukum pembuktian pidana, begitu juga dengan pendapat Eddy OS Hiariej. Pada intinya untuk menyatakan dapat diterimanya suatu bukti pertama adalah berkenaan dengan relevansi bukti tersebut dengan perkara, kemudian bukti yang dihadirkan masing-masing pihak harus jelas mengandung syarat yang diantaranya adalah sebagai berikut:
- Penerimaan dilandaskan pada kejelasan bahwa bukti tersebut tidak menimbulkan praduga yang tidak fair atau dapat menyebabkan kebingungan.
- Penerimaan dilandaskan pada tidak adanya alasan ekstrinsik untuk memberikan penolakan, contohnya adalah adanya perbaikan penyidikan secara ilmiah dengan metode yang lebih efektif dan efisien, sehingga dapat mengenyampingkan scientific evidence sebelumnya.
Dapat atau tidak dapat diterimanya scientific evidence ini sangat mempengaruhi hasil putusan. Scientific evidence yang diterima pasti akan dipertimbangkan oleh hakim untuk membentuk sebuah logika hukum putusannya. Lebih jauh lagi, bahkan diterimanya scientific evidence ini dapat berimplikasi pada munculnya yurisprudensi/landmark decision.
Bukti-bukti yang relevan yang dihadirkan awalnya bersifat diam tidak akan bisa membuktikan apa-apa. Selanjutnya bukti itu dinilai oleh ahli yang kemudian bertransformasi menjadi scientific evidence dan memiliki kekuatan untuk berbicara untuknya sendiri.
Selain itu telah menjadi ketentuan hukum bahwa suatu bukti tidak bisa berdiri sendiri, artinya dalam sistem pembuktian yang diakui di Indonesia pun mengakui bahwa dari dua alat bukti yang cukup Hakim memperoleh keyakinan. Demikian pula dengan scientific evidence, keberadaannya tidak dapat secara langsung menemukan hasil kesalahan seseorang. Melainkan harus terlebih dahulu disesuaikan dengan fakta-fakta yang ada lainnya. Sebagai contoh, dalam suatu tindak pidana pembunuhan yang menggunakan pistol, tidak dapat dengan langsung membuktikan siapa pelakunya, namun harus dicocokkan antara selongsong peluru yang ditemukan dengan pistol yang dimiliki oleh terdakwa. Sehingga prosesnya memang lebih panjang karena harus membuktikan antar persesuaian fakta.
Contoh lain pada tindak pidana korupsi, yang melalui hasil audit keuangan oleh ahli auditor. Setelah adanya temuan adanya kerugian negara sebagai hasil dari audit, secara langsung tidak dapat ditentukan siapa pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Namun dapat dilakukan persesuaian dengan fakta yang diperoleh dari keterangan saksi atau surat, bahwa yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan uang atau kebijakan yang sejenis dengan indikasi kerugian negara tersebut adalah seseorang dengan jabatan tertentu.
Sebagai ilustrasi pembanding, penulis menyajikan salah satu kasus yang terjadi di Washington, Amerika Serikat pada tahun 1930, yang mana tersangka kasus pembunuhan berhasil dibuktikan dengan menggunakan alat microscope. Di mana ranting kayu yang dipotong oleh tersangka untuk tempat berbaring sesaat sebelum melakukan pembunuhan, kemudian dibandingkan dengan potongan kayu yang ada di rumah tersangka menunjukkan kecocokan.
Sebagai kesimpulan, sebenarnya letak penilaian terkait kontribusi scientific evidence dalam pembuktian adalah sepenuhnya kewenangan hakim. Sekali lagi Penulis menyatakan bahwa dalam penanganan perkara pidana, letak penafsiran atas keabsahan dan validitas alat bukti ada pada kewenangan hakim untuk melakukannya. Demikian pula terhadap scientific evidence, Hakim memiliki hak untuk menggunakannya dalam pertimbangan atau tidak, tentunya dengan mengedepankan integritas dan keyakinannya atas suatu kebenaran dalam perkara pidana yang ditanganinya tersebut.
Bahan bacaan:
Adami Chazawi, 2013, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Eddy OS Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga, Jakarta
Lilik Mulyadi, 2014, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Munir Fuady, 2012, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), PT Citra Aditya Bakti, Bandung
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta
No responses yet