PENDAHULUAN

Latar Belakang

Diversi tercatat menjadi salah satu terobosan dalam sejarah perkembangan keilmuan serta praktik penegakan hukum pidana di Indonesia. Mengapa dikatakan sebagai terobosan, karena diversi telah dilembagakan sebagai mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar proses peradilan (afdoening buiten process) dan keberadaannya mengenyampingkan setidaknya dua prinsip hukum pidana formil. Pertama, mengenai prinsip ius punale[1] dan ius puniendi[2] yang telah meletakkan dasar pemikiran tentang sistem penyelesaian perkara pidana yang hanya dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan.[3] Kedua, mengenai prinsip orientasi perlindungan hak tersangka atau terdakwa[4], yang mana melalui diversi orientasi penyelesaian perkara pidana bergeser dengan juga menjamin perlindungan kepada hak korban dan masyarakat.

Pengaturan diversi muncul sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU 11/2012), yang didefinisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.[5] Selanjutnya sebagai pedoman diversi di pengadilan, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut Perma 4/2014). Kemudian diterbitkan pula aturan pelaksana UU 11/2012 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun (selanjutnya disebut PP 65/2015).

Konsep diversi berawal dari adanya diskresi aparatur penegak hukum untuk menyelesaikan pelanggaran ringan yang tidak memerlukan intervensi hukum.[6] Secara gramatikal diversi berarti ‘pengalihan’, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat.[7] Apabila ditelusuri lebih jauh praktik diversi di pengadilan sebagaimana diatur di dalam Perma 4/2014 memiliki tahapan yang identik sama dengan pelaksanaan mediasi di pengadilan.[8] Sebagai contohnya dalam hal untuk mencapai keberhasilan, prinsip-prinsip utama mediasi diakomodasi untuk mencapai kebermanfaatan dari proses penyelesaian perkara melalui diversi, yang mana diversi dianggap sebagai bentuk penanganan isu yang bersifat konflik sengketa, mengutamanakan kualitas proses dengan keterlibatan semua pihak, serta bersifat informal.[9]

Selain itu keidentikan lain dapat dilihat dari perihal siapa yang memimpin proses pelaksanaannya. Pada dasarnya baik fasilitator diversi maupun mediator pada proses di tingkat pengadilan keduanya sama-sama diperankan oleh hakim. Namun yang menjadi perbedaan adalah bahwa fasilitator diversi di pengadilan adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.[10] Berbeda dengan ketentuan mengenai mediasi, bahwa Ketua Pengadilan menunjuk mediator hakim yang bukan hakim pemeriksa perkara yang memutus.[11] Dengan kata lain bahwa hakim pemeriksa perkara pidana anak secara otomatis akan berfungsi pula sebagai hakim fasilitator diversi, sedangkan pada mediasi yang bertindak sebagai mediator diutamakan dari hakim yang bukan pemeriksa perkara.

Rasio diaturnya ketentuan mediator dari hakim yang bukan pemeriksa perkara adalah terkait dengan prinsip kerahasiaan dan tertutupnya mediasi.[12]  Fakta mediasi yang berhasil digali oleh seorang mediator harus benar-benar terjaga kerahasiaannya. Termasuk apabila ternyata mediasi dinyatakan tidak berhasil dan perkara dilanjutkan ke persidangan, fakta tersebut juga tidak boleh diketahui oleh hakim pemeriksa perkara karena dapat berdampak pada netralitas dan imparsialitas hakim pemeriksa perkara dalam mengungkap fakta hukum di persidangan.

Melihat adanya disimilaritas landasan diaturnya ketentuan antara hakim mediator dengan hakim fasilitator diversi tersebut, maka muncul suatu persoalan mengenai siapa yang lebih ideal dan profesional memimpin proses penyelesaian perkara di luar peradilan, terutama dalam perkara pidana anak melalui diversi. Hal tersebut yang menjadi isu utama disusunnya paper ini, yang mana Mentee akan lebih lanjut menganalisa gradasi profesionalitas hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator diversi yang juga berekuivalensi sebagai pemeriksa perkara anak. Dengan mengingat singkatnya ketentuan paper yang dapat Mentee susun, maka pembahasan paper ini bersifat sebagai pematik awal yang hanya menunjukkan wajah permukaan dari diskursus profesionalitas hakim fasilitator diversi. Tentunya demi sempurnanya materi yang dibahas dalam paper ini membutuhkan penelusuran dan penulisan pembahasan yang lebih luas dan mendalam.

Metode Penulisan

Penulisan paper dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dilakukan adalah terhadap peraturan perundang-undangan (statute approach) dan terhadap konsep (conceptual approach). Bahan hukum primer diambil dari ketentuan perundang-undangan mengenai pelaksanaan diversi di pengadilan, di antaranya UU 11/2012, PP 65/2015, dan Perma 4/2014. Adapun bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur yang mendukung berupa buku, artikel, dan data internet.

PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian pada pendahuluan di atas, maka dirumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam paper ini, yaitu:

  1. Apa rasio legis pelaksanaan diversi oleh hakim pemeriksa perkara dalam fungsinya sebagai hakim fasilitator diversi?
  2. Bagaimana profesionalitas hakim fasilitator diversi?

PEMBAHASAN

RASIO LEGIS PELAKSANAAN DIVERSI OLEH HAKIM PEMERIKSA PERKARA DALAM FUNGSINYA SEBAGAI HAKIM FASILITATOR DIVERSI

Landasan Yuridis dan Prinsip Dasar Pelaksanaan Diversi oleh Hakim Fasilitator Diversi

Diversi adalah upaya penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.[13] Teknisnya pelaksanaan diversi di pengadilan dilandaskan pada ketentuan Perma 4/2014 dan PP 65/2015. Adapun secara umum, tujuan diversi adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.[14]

Konsep diversi berawal dari adanya diskresi aparatur penegak hukum untuk menyelesaikan pelanggaran ringan yang tidak memerlukan intervensi hukum.[15] Konsep ini pula yang diamanahkan dalam Pasal 11 Beijing Rule, yang berbunyi: “Polisi, jaksa, pengadilan, atau lembaga lain yang menangani kasus anak harus diberikan wewenang untuk menyelesaikan kasus dengan kebijakan mereka tanpa melalui persidangan formal”.[16] Pada intinya diversi dilakukan sebagai bentuk musyawarah untuk mufakat,[17] yang apabila diversi tidak berhasil maka perkara pidana anak dilanjutkan ke tahap persidangan.[18]

Diversi dilaksanakan sebagai salah satu penyelesaian perkara pidana di luar proses peradilan (afdoening buiten process). Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa penyelesaian perkara pidana di luar proses memerlukan suatu mekanisme yang menghilangkan kesenjangan antara hukum pidana dan perdata.[19] Dapat dikatakan pula bahwa diversi dilakukan dengan cara menarik suatu konsep penanganan perkara perdata ke dalam penanganan perkara pidana.[20] Hal ini pula yang menjadikan antara diversi dan mediasi memiliki keidentikan dalam pelaksanaannya.

Sebagaimana diketahui, sejak didaftarkannya perkara perdata telah berbentuk sengketa konflik (dispute) antara dua pihak yang berimbang yaitu penggugat dan tergugat. Lain halnya dengan sifat kepublikan perkara pidana yang melibatkan negara (yang diwakili oleh penuntut umum) dengan seorang terdakwa dalam penyelesaiannya. Peradilan pidana yang semula bersifat legalistik formal, dalam hal perkara tersebut merupakan perkara anak serta diupayakan diversi, maka penyelesaiannya dialihkan melalui mekanisme non-litigatif yang mengutamakan keberimbangan antara dua pihak yang berselisih, yaitu antara anak dan korban atau masyarakat.[21]

Lebih daripada hal tersebut, prinsip lain yang ditonjolkan dalam penyelesaian perkara pidana anak melalui upaya diversi adalah terkait dengan jaminan hak. Semula penanganan perkara melalui acara pidana harus menjamin hak anak secara maksimal[22], kemudian digeser menjadi suatu proses penanganan perkara yang menjamin keberimbangan hak anak dan korban atau masyarakat dalam satu waktu, yang mana negara tidak lagi difungsikan sebagai pihak yang berperkara (informal proceeding).

Diferensiasi Fungsi Hakim Fasilitator Diversi dengan Hakim Mediator

Penting bagi Mentee untuk membahas apa yang menjadi dasar pembeda atau diferensiasi fungsi antara hakim fasilitator diversi dengan hakim mediator untuk menganalisa rasio legis pelaksanaan diversi oleh hakim pemeriksa perkara dalam fungsinya sebagai hakim fasilitator diversi. Proses pembedaan antara keduanya dilakukan melalui pembandingan antara prinsip-prinsip diversi dan mediasi yang ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel Perbedaan Dasar Diversi dan Mediasi

DiversiPembedaMediasi
Hakim fasilitator yang merupakan hakim pemeriksa perkara.   (Pasal 1 angka 2 Perma 4/2014)Pihak yang mempimpin jalannya proses  Hakim mediator yang didahulukan merupakan hakim bukan pemeriksa perkara. (Pasal 3 ayat (5) Jo. Pasal 20 ayat (4) Perma 1/2016)  
Surat dakwaan dan informasi perilaku anak dari Pembimbing Kemasyarakatan. (Pasal 5 ayat (3) Perma 4/2014)Dasar pelaksanaanResume perkara dan tidak terbatas pada gugatan. (Pasal 24 ayat (1) Jo. Pasal 25 ayat (1) Perma 1/2016)  
Restorative Justice.Tujuan  Win-Win Solution.
Hakim; Anak dan/atau orang tua/Wali; korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Wali; Pembimbing Kemasyarakatan; dan Pekerja Sosial Profesional. Dalam hal dikehendaki dapat melibatkan masyarakat  (Pasal 51 ayat (3) dan (4) PP 65/2015Pihak yang menghadiriMediator dan para pihak dan atas persetujuan para pihak dapat melibatkan ahli dan tokoh masyarakat. (Pasal 26 ayat (1) Perma 1/2016)

Berdasarkan informasi perbedaan antara diversi dan mediasi sebagaimana yang ditampilkan dalam tabel tersebut maka dapat diuraikan sebagai berikut:

Pihak yang Memimpin Jalannya Proses

Proses diversi dipimpin oleh seorang hakim fasilitator. Fungsi tersebut melekat pada hakim pemeriksa perkara pidana anak yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan dalam penetapan penunjukan hakim saat proses administrasi perkara pidana sebelum persidangan. Sedangkan pada proses mediasi, Ketua Pengadilan menunjuk mediator hakim yang bukan hakim pemeriksa perkara yang memutus. Namun terdapat suatu pengecualian yaitu apabila pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara bersertifikat, ketua majelis hakim pemeriksa perkara menunjuk salah satu hakim pemeriksa perkara untuk menjalankan fungsi mediator dengan mengutamakan hakim yang bersertifikat.

Perbedaan dasar dari kedua ketentuan di atas adalah terletak pada kemutlakan fungsi hakim pemeriksa perkara untuk berperan sebagai fasilitator diversi, yang sebaliknya pada mediasi fungsi hakim pemeriksa perkara untuk dapat berperan sebagai mediator harus terlebih dahulu terpenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (4) Perma 1/2016. Alasan utama mengapa mediator didahulukan dari hakim yang bukan pemeriksa perkara adalah terkait dengan prinsip tertutupnya proses mediasi.[23]  Kerahasiaan ini adalah terkait dengan fakta mediasi yang diminimalisir untuk muncul sebagai fakta hukum di sidang. Apabila diatur ketentuan hakim mediator diutamakan dari hakim pemeriksa perkara maka dikhawatirkan hakim akan mengetahui terlebih dahulu fakta sesungguhnya di balik perkara yang dipersidangkan. Hal ini dengan mengingat sifat perkara keperdataan yang ditangani dalam mediasi yang sejak awal telah bersifat sebagai konflik sengketa antara kedua pihak (dispute).

Dasar Pelaksanaan

Dalam diversi sumber informasi untuk penyelesaian perkara bagi hakim fasilitator diversi adalah uraian dakwaan yang telah disusun berdasarkan kebenaran materiil yang diperoleh dari proses penyidikan. Selain itu, digunakan pula informasi perilaku anak dari Pembimbing Kemasyarakatan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anak sehingga melakukan perbuatan pidana tersebut. Alasan ini berkaitan dengan tujuan dilaksanakannya diversi yaitu selain berfokus pada penyelesaian perkara juga pada upaya pengembalian keadaan seperti semula dan pengembalian anak ke lingkungannya.

Dalam mediasi sumber informasi untuk penyelesaian perkara bagi hakim mediator didahulukan dari resume perkara yang dibuat oleh tiap pihak, bukan dari surat gugatan. Adapun dasar pelaksanaan mediasi bukan dari surat gugatan adalah oleh karena peristiwa yang diuraikan di dalam surat gugatan pastinya hanya merupakan dalil kebenaran dari pihak penggugat saja. Praktiknya hakim mediator tetap menggunakan surat gugatan namun hanya sebagai bahan pengayaan dalam menggambarkan secara umum pokok perkara, dan upaya penyelesaian tetap didasarkan pada resume perkara. Selain itu, seringkali upaya perdamaian yang ditawarkan oleh para pihak merupakan upaya yang sifatnya di luar materi gugatan, sehingga akan sangat sempit lingkupnya apabila hanya berdasarkan pada surat gugatan.

Tujuan

Hal ini berkaitan dengan perbandingan nuansa yang dihadirkan di dalam diversi dan mediasi. Diversi bernuansa keadilan restorasi, karena diharapkan setelah dilakukan diversi keadaan akan kembali ke semula sebelum terjadinya perbuatan pidana. Sebagaimana hukum acara yang berlaku, tujuan akhir dari persidangan pidana adalah bahwa terdakwa terbukti, tidak terbukti, atau lepas dari tuntutan pidana, sehingga sifat penghukumannya semata-mata terkait dengan perbuatan terdakwa tersebut. Adapun pengalihan penyelesaian di luar sidang pidana melalui diversi lebih ditekankan untuk membangun nuansa yang lebih cenderung mengembalikan keadaan, dan akhirnya korban atau masyarakat akan menerima kembali anak di lingkungannya seperti keadaan semula.

Hal ini sedikit berbeda dengan tujuan yang dihadirkan melalui mediasi. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sifat perkara yang diselesaikan dalam mediasi bersifat konflik sengketa (dispute), sedangkan tujuan akhir dari persidangan perkara perdata adalah siapa yang menang dan siapa yang kalah atas peristiwa keperdataan yang terjadi (win-lost). Dengan demikian nuansa penyelesaian perkara melalui mediasi lebih mengutamakan keberimbangan yang menghasilkan kesepakatan yang bersifat sama-sama menang (win-win solution).

Pihak yang Menghadiri

Salah satu perbedaan dari diversi dan mediasi adalah terkait dengan fungsi kehadiran pihak-pihak di dalam proses. Diversi selain dihadiri oleh anak dan korban juga wajib dihadiri oleh pihak pendamping anak dan korban tersebut, serta dapat juga masyarakat. Dalam satu pandangan, mengenai fungsi masyarakat di proses diversi tersebut adalah sebagai mediator, membantu korban, dan mendukung pemenuhan kewajiban pelaku, sedangkan hakim adalah sebagai fasilitator.[24] Sedangkan dalam mediasi pihak luar pada intinya dapat hadir apabila disepakati oleh kedua pihak. Adapun ketentuan mengenai mediasi tersebut adalah dengan mengingat bahwa proses mediasi telah secara tegas dilaksanakan secara tertutup dan rahasia. Namun meskipun terdapat perbedaan tersebut, pada pokoknya kesuksesan baik diversi maupun mediasi dipengaruhi pula oleh keterlibatan pihak luar di dalamnya.[25]

Mengacu pada uraian tersebut di atas, Mentee berpendapat bahwa pelaksanaan diversi oleh hakim pemeriksa perkara dalam fungsinya sebagai fasilitator telah tepat. Secara umum meskipun berbeda prinsip dengan hakim mediator yang diutamakan dari hakim bukan pemeriksa perkara, namun dengan mengingat karakteristik penyelesaian perkara melalui diversi sebagaimana telah diuraikan di atas, maka secara prinsip hakim pemeriksa perkara dapat juga secara ideal berperan sebagai fasilitator diversi. Terlepas dari hal tersebut, yang menjadi fokus berikutnya adalah terkait dengan cara seorang hakim dalam memfasilitasi diversi, sehingga terbentuk suatu pola yang sejalan dengan rasio legis pelaksanaan diversi serta mengedepankan prinsip profesionalitas.

PROFESIONALITAS HAKIM FASILITATOR DIVERSI

KBBI memberikan definisi kata ‘profesionalitas’ sebagai perihal profesi, keprofesian, atau kemampuan untuk bertindak secara profesional.[26] Sementara sikap profesional ini juga muncul sebagai salah satu dari 10 (sepuluh) aturan perilaku dalam prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.[27] Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.[28]

Profesionalitas hakim fasilitator diversi dapat ditinjau dari kemampuan hakim dalam menjalankan profesinya tersebut. Secara umum profesionalitas ini diindikatorkan dari pengetahuan dasar hakim mengenai hal-hal yang menjadi ruang lingkup dan tujuan diversi dilaksanakan. Namun secara khusus yang dibahas oleh Mentee dalam penulisan paper ini adalah terkait dengan profesionalitas hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator diversi yang berekuivalensi dengan fungsinya sebagai pemeriksa perkara, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 Perma 4/2014. Perilaku profesional akan disebutkan dalam minimal namun tidak terbatas pada 3 (tiga) hal, di antaranya: (1) menggeser isu perkara yang bersifat pidana menjadi isu perkara yang bersifat sengketa konflik; (2) mengutamanakan kualitas proses dengan melibatkan semua pihak, serta (3) menjamin proses diversi bersifat informal.

Menggeser isu perkara yang bersifat pidana menjadi isu perkara yang bersifat sengketa konflik

Sebagaimana proses pelimpahan perkara pidana anak di pengadilan, ketika ditetapkan penunjukan hakim/majelis hakim pemeriksa perkara oleh Ketua Pengadilan, maka kewajiban hakim/majelis hakim adalah mempelajari surat dakwaan serta menganalisa arah pembuktian. Dalam hal ini profesionalitas hakim fasilitator ditunjukkan melalui kemampuannya mengubah paradigma proses penanganan perkara pidana tersebut menjadi suatu proses diversi yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana oleh anak, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah pada anak.[29]

Hal inilah yang menjadi tantangan utama bagi seorang hakim fasilitator diversi, bahwa penerapan syarat profesionalitas ini bukan hal yang mudah mengingat mainstream berpikir dari penegak hukum, dalam hal ini hakim, yang telah terpola dengan alur berpikir konvensional sistem peradilan pidana umum yang berlaku, yaitu beracuan pada pemberian hukuman kepada pelaku dengan mempertimbangkan perbuatan dari pelaku semata.[30]

Seorang hakim fasilitator diversi seyogyanya mampu meyakinkan mereka yang terlibat konflik (anak dan korban atau masyarakat) dalam mengedepankan proses komunikasi secara berimbang dan mereka memiliki kesempatan yang sama dalam mengajukan alternatif penyelesaian konflik tersebut. Orientasi hakim pemeriksa perkara yang semula cenderung condong pada hak-hak anak semata harus digeser dengan mempertimbangkan pula hak-hak korban secara berimbang, karena penyelesaian diversi tersebut bukan lagi melalui formalistik hukum acara pidana, namun lebih kepada penyelesaian sengketa konflik (dispute) yang berimbang dan bersifat adversarial.

Mengutamakan kualitas proses dengan melibatkan semua pihak

Menurut Adam Graycar, keberhasilan menciptakan keadilan restorasi memerlukan suatu dukungan reintegrative dalam menyelesaikan konflik.[31] Dukungan reintegrative diperoleh dengan melibatkan kehadiran dan peran serta masyarakat untuk mendukung terciptanya perdamaian antara pelaku dan korban. Pendekatan yang dilakukan melalui dukungan reintegrative ini adalah dengan[32]:

  1. Menjelaskan kepada pelaku bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela di masyarakat;
  2. Mendukung untuk kembalinya pelaku dalam masyarakat dan memastikan bahwa pelaku tetap dihargai meskipun telah melakukan perbuatan yang tercela.

Terkait dengan profesionalitas hakim fasilitator di sini adalah kemampuan dalam menganalisa keadaan yang berjalan saat diversi, mampu menghadirkan pihak lain yang perlu untuk mendukung kembalinya anak di masyarakat, serta mampu menciptakan kembali keseimbangan nilai-nilai dalam masyarakat dengan melibatkan masyarakat sebagai pemantau atas pelaksanaan hasil kesepakatan.[33] Peran hakim fasilitator juga sangat diperlukan dalam menciptakan suasana musyawarah yang berkualitas dan tepat sasaran demi kebaikan anak dan korban atau masyarakat dengan mengutamakan saling pengertian dan penghormatan antar hak.

Menjamin proses diversi bersifat informal

Dalam diversi diupayakan menghindari adanya pembicaraan yang bersifat formal, sehingga para pihak yang terlibat merasa saling dihargai. Sebagaimana penyelesaian perkara di luar proses peradilan secara umum, maka formalistik acara perlu dihindari. Proses diversi yang mengutamakan nuansa informal ini harus dapat diciptakan oleh hakim fasilitator yang profesional dengan cara menghindari proses-proses birokratis dan prosedur hukum yang ketat.

Selain itu hakim fasilitator dalam menciptakan proses yang bersifat informal ini harus mampu memastikan kepada semua pihak yang terlibat bahwa anak dan korban bukan sebagai obyek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih dihargai sebagai subyek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat, dalam artian masih dalam koridor yang memerlukan pendampingan dari pihak-pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hasil pembahasan dalam paper ini adalah sebagai berikut.

  1. Rasio legis pelaksanaan diversi oleh hakim pemeriksa perkara dalam fungsinya sebagai hakim fasilitator adalah bahwa diversi telah mengalihkan konsep peradilan pidana yang legalistik formal ke konsep penyelesaian konflik sengketa (dispute) untuk menghasilkan keadilan restoratif, sehingga secara prinsip hakim pemeriksa perkara dapat juga secara ideal dan profesional berperan sebagai fasilitator dalam diversi; dan
  2. Profesionalitas hakim fasilitator diversi dapat ditinjau dari 3 (tiga) hal, di antaranya: (1) kemampuan dalam menggeser isu perkara yang bersifat pidana menjadi isu perkara yang bersifat sengketa konflik; (2) mengutamanakan kualitas proses dengan melibatkan semua pihak, serta (3) menjamin proses diversi bersifat informal.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, Mentee menyarankan sebagai berikut:

  1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih fokus dan mendalam mengenai pelaksanaan diversi yang merubah paradigma penyelesaian perkara pidana anak; dan
  2. Perlu diatur ketentuan khusus mengenai kode etik dan profesionalitas hakim anak, khususnya dalam memfasilitasi diversi, dengan tujuan menyeragamkan indikator pelaksanaan diversi di pengadilan yang sesuai dengan semangat keadilan restoratif.

[1] Hak negara untuk menjalankan ketentuan perundang-undangan tentang hukum pidana baik materiil maupun formil melalui alat-alat negara.

[2] Hak negara untuk menjatuhkan pidana pada seseorang yang telah terbukti bersalah oleh lembaga pengadilan dan melakukan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan.

[3] Eva Achjani Zulfa, 2013, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 36-37

[4] KUHAP mengatur jaminan perlindungan terhadap 24 (dua puluh empat) jenis hak fundamental tersangka/terdakwa. Lihat Munir Fuady dan Sylvia L.L. Fuady, 2015, Hak Asasi Tersangka Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 17-19

[5] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

[6] Anonim, Konsep Diversi dan Restorative Justice, Presentasi disampaikan dalam Program Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Ssitem Peradilan Pidana Anak Tahun 2017

[7] Ibid.

[8] Sebagai pembanding lihat pula dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

[9] Sahuri Lasmadi, 2011, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Makalah disampaikan di hadapan kalangan Hakim dari 2 (dua) lingkungan peradilan di wilayah Jambi di Hotel Novita Jambi tanggal 19 Mei 2011

[10] Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

[11] Pasal 3 ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

[12] Pasal 5 ayat (1) dan (2), Ibid., yang berbunyi “(1) Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki lain; (2) Penyampaian laporan Mediator mengenai pihak yang tidak beriktikad baik dan ketidakberhasilan proses Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara bukan merupakan pelanggaran terhadap sifat tertutup Mediasi”. Sehingga secara a contrario dapat dipahami bahwa selain mengenai pihak yang tidak beritikad baik dan ketidakberhasilan proses mediasi merupakan suatu kerahasiaan yang timbul dari prinsip tertutupnya mediasi

[13] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

[14] Pasal 6, Ibid.

[15] Anonim, Loc.Cit.

[16] Ibid.

[17] Ridwan Mansyur, 2017, Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak, diakses dari www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak pada tanggal 30 September 2019

[18] Pasal 52 ayat (6) UU 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Jo Pasal 10 PP 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

[19] Barda N Arief, 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, hlm. 4

[20] Lilik Mulyadi, 2015, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, hlm. 2-3

[21] Ibid., hlm. 19

[22] Kondisi di mana terdakwa sedang dihadapkan dengan fungsi negara yang diwakili oleh penuntut umum. Romli Atmasasmita menyebutkan terdapat 10 asas yang melatarbelakangi pembentukan hukum acara pidana di Indonesia. Dari 10 asas tersebut 9 di antaranya melandasi kepentingan hak asasi tersangka, sedangkan 1 asas melandasi penegak hukum. Dalam Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, hlm. 70-72

[23] Pasal 5 ayat (1) dan (2), Ibid., yang berbunyi “(1) Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali para pihak menghendaki lain; (2) Penyampaian laporan Mediator mengenai pihak yang tidak beriktikad baik dan ketidakberhasilan proses Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara bukan merupakan pelanggaran terhadap sifat tertutup Mediasi”. Sehingga secara a contrario dapat dipahami bahwa selain mengenai pihak yang tidak beritikad baik dan ketidakberhasilan proses mediasi merupakan suatu kerahasiaan yang timbul dari prinsip tertutupnya mediasi.

[24] M. Nasir Djamil, 2015, Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU SPPA, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 47

[25] Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 180-181

[26] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses dari https://kbbi.web.id/profesionalitas pada tanggal 1 Oktober 2019

[27] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim

[28] Ibid.

[29] Sahuri Lasmadi, Loc.Cit.

[30] Mark Umbreit dalam Eva Achjani Zulfa, 2011, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana, Makalah disampaikan di hadapan kalangan Hakim dari 2 (dua) lingkungan peradilan di wilayah Jambi di Hotel Novita Jambi tanggal 19 Mei 2011

[31] Adam Gaycar dalam Sahuri Lasmadi, Loc.Cit.

[32] Ibid.

[33] Eva Achjani Zulfa, 2011, Loc.Cit.

No responses yet

Leave a Comment

Latest Comments

No comments to show.